Pengikut

Minggu, 04 November 2012

Sumpah Pemuda

Sumpah Pemuda dan Perayaannya

Sumpah Pemuda adalah bukti otentik bahwa tanggal 28 Oktober 1928 bangsa Indonesia dilahirkan. Oleh karena itu sudah seharusnya segenap rakyat Indonesia memperingati momentum 28 Oktober sebagai hari lahirnya bangsa Indonesia. Proses kelahiran Bangsa Indonesia ini merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun tertindas dibawah kekuasaan kaum kolonialis pada saat itu, kondisi ketertindasan inilah yang kemudian mendorong para pemuda pada saat itu untuk membulatkan tekad demi mengangkat harkat dan martabat hidup orang Indonesia asli, tekad inilah yang menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya 17 tahun kemudian yaitu pada 17 Agustus 1945.

Isi Sumpah Pemuda

Sumpah Pemuda versi orisinal:
Pertama
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoewa
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

            Sumpah Pemuda versi Ejaan Yang Disempurnakan:
Pertama
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kedua
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.


Gedung Sumpah Pemuda
Bangunan di Jalan Kramat Raya 106, tempat dibacakannya Sumpah Pemuda, adalah sebuah rumah pondokan untuk pelajar dan mahasiswa milik Sie Kok Liong. Gedung Kramat 106 sempat dipugar Pemda DKI Jakarta 3 April-20 Mei 1973 dan diresmikan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 20 Mei 1973 sebagai Gedung Sumpah Pemuda. Gedung ini kembali diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 20 Mei 1974. Dalam perjalanan sejarah, Gedung Sumpah Pemuda pernah dikelola Pemda DKI Jakarta, dan saat ini dikelola Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.

Perayaan dan Makna Sumpah Pemuda
Kebangkitan pemuda harus dibarengi dengan persatuan pemuda dan semangat kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan RI. Peringatan Sumpah Pemuda sangat berkesan karena banyak sekali kegiatan kepemudaan yang diselenggarakan oleh kelompok dan komunitas pemuda Indonesia, di dalam dan di luar negeri. Budaya dan pariwisata adalah aset terbesar bangsa karena sekarang menjadi penyumbang devisa nomor empat bagi negara. Lewat panggung budaya, anak muda bisa mengekspresikan potensinya. Baik itu berkreasi lewat kreasi tari-tarian atau lewat karya budaya lainnya, sehingga memperkaya khazanah budaya yang bisa menjadi potensi pariwisata. Selain itu, lewat budaya pula, anak muda dapat mengukuhkan jatidirinya. Anak muda yang tak tercerabut dari akar budayanya bahkan bisa berkreasi lebih baik lagi, dan itu adalah yang diperlukan bangsa ini. Oleh karenanya budaya harus jadi nilai tambah bagi setiap pemuda Indonesia. Budaya adalah penentu identitas anak muda Indonesia di tengah arus globalisasi dan semua anak muda Indonesia mesti jadi duta-duta budaya, dimana pun berada. Makna Sumpah Pemuda, seperti akan menjaga etika pergaulan di tengah masyarakat, memperbaiki rutinitas ibadah agar lebih baik dan stabil, siap berbagi dan bertukar pengalaman positif, dan masih banyak lagi.


Sabtu, 03 November 2012

BERLARI UNTUK SAHABATKU



Sang mentari mulai menunjukkan sinarnya. Ayam-ayam pun berkokok. Udara sejuk terasa menyegarkan. Jam menunjukkan pukul 6 pagi. Hari ini adalah hari pertama libur panjang kenaikkan kelas. Semua siswa tentunya bergembira karena hal ini adalah sesuatu yang mereka tunggu-tunggu. Tidak terkecuali Fiona, seorang siswi SMA yang manis.  
“Hai Fiona” sapa Vinci sambil melambaikan tangan. Fiona pun membalas dengan senyumannya. Vinci merupakan satu-satunya sahabat baginya. “Ayo cepat ikat tali sepatumu!” hentak Vinci dengan penuh semangat. Ya, mereka akan berlari pagi di taman kota dekat rumah Fiona. Ini adalah pertama kalinya mereka memutuskan untuk lari pagi bersama. Etah apa yang terjadi dengan Vinci, dia terlihat sangat bersemangat. “Hmm, kamu kenapa sih kok semangat banget?” tanya Fiona bingung. Vinci berhenti sejenak sambil mengkerutkan keningnya “Ada deh!” jawabnya menyebalkan dan pergi berlari meninggalkan Fiona. Benar-benar membuat orang menjadi penasaran, tetapi Fiona berusaha untuk tidak menghiraukannya.
            Keesokan harinya karena bosan hanya berdiam diri di rumah, Fiona memutuskan untuk ke rumah Vinci. “Vinci…..” teriak Fiona lantang di depan pagar rumah Vinci. Maklum pagar rumahnnya tinggi banget. Vinci keluar dengan keadaan yang masih sama dengan kemarin, yaitu suka nyengir-nyengir sendiri. Berbagai macam cara dan ramuan sudah ditawarkan tetapi Vinci tetap menutup rapat rahasianya. Akhirnya Vinci mau bercerita ketika sudah disogok dengan sekotak ice cream, 3 bungkus coklat, ditraktir makan mie ayam dan tidak ketinggalahn minumnya juga. “Aku udah jadian ama Bobi” kata Vinci. Dengan spontan Fiona tersedak dan sedikit muncrat ke muka Vinci karena tidak percaya sahabatnya telah menjadi seseorang yang dewasa. “Ih! Kamu jorok banget” protes Vinci. “Maaf, maaf. Bobi siapa? Bobi kan banyak!” kata Fiona dengan terbata-bata tetapi sedikit berteriak. Dengan bersemangat, Vinci menujukkan selembar foto yang berisi fotonya dengan Bobi.
            Sesampainya di rumah, Fiona hanya merenung. Ternyata Bobi adalah orang yang ia sukai sejak ia masih bersekolah di kota tempat neneknya tinggal. Nenek Fiona tidak menyukai Bobi karena penampilan Bobi memang terlihat agak urak-urakan. Mereka belum sempat berpacaran karena Fiona tentunya jauh lebih memilih neneknya. Bobi marah, ia menilai Fiona tidak pernah bisa menentukan hal yang ingin ia lakukan dan terlalu bergantung pada neneknya. Fio pun marah kepada Bobi karena ia merasa Bobi menghina dirinya dan neneknya. Semenjak saat itu hubungan mereka kurang baik dan akhirnya kehilangan kontak pada saat Fiona pindah ke sekolah di kota lain, yaitu sekolahnya sekarang tempat dimana ia menemukan sahabatnya, Vinci. Fiona juga tidak sempat berpamitan dengannya. “Aduh, pasti dia marah banget sama aku” Fiona bingung. Ia tidak pernah berpikir akan bertemu dengan Bobi lagi. “Kenapa mesti sahabatku?” Fiona bingung sendiri. Ia berjalan kesana kemari. Berputar-putar di kamarnya yang cukup luas. Udara dingin terasa panas, perut lapar menjadi kenyang, hal yang ia rasakan benar-benar membuat dirinya tersiksa. Tak tahan lagi ia memutuskan untuk diam di halaman depan rumah, ia ingin menenangkan pikirannya dan mendapatkan pencerahan dari bintang-bintang di langit. Sebenarnya ia juga ingin menunggu pedagang nasi goreng yang biasanya lewat di depan rumah.
Setelah berhasil menghitung beberapa bintang dan membuatnya semakin pusing, akhirnya “Teng, teng, teng” pedagang nasi goreng sudah tiba tepat di depan rumahnya. Ia segera memesan sepiring nasi goreng.  “Yummm….. Kenyangnya”  nasi goreng langganannya memang selalu ampuh mengembalikan nafsu makannya. Karena kekenyangan ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya.
“Kringg, kring, kring” telepon berbunyi untuk ketiga kalinya. Dengan mata yang belum terbuka sempurna Fiona mengangkat gagang telepon di ruang tamu. “Fio, ini aku Vinci. Nanti aku jemput ya. Kamu harus ketemu sama Bobi. Oke!” kata Vinci. “Tut,tut,tut” telepon sudah terputus tanpa memberi Fiona kesempatan untuk bicara.
Fiona  bingung di satu sisi ia membenci Bobi karena ia merasa Bobi pernah menghinanya dan neneknya, tetapi di sisi lain ia juga salah kepada Bobi karena tidak bisa menerima masukannya dan tidak berpamitan padanya. Setelah merenung akhirnya ia membulatkan tekad untuk bertemu  dengan Bobi karena cepat atau lambat ia pasti akan bertemu dengannya. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya Vinci menjemputnya juga. Disepanjang perjalanan Fiona tak henti-hentinya menghela nafas panjang, tangannya dingin dan mukanya pucat. “Kamu sakit?” tanya Vinci. “Ah, ga kok, cuma laper aja. hehehe” jawab Fiona dengan sedikit lelucon. Ia tidak ingin membuat sahabatnya cemas. Vinci pun tertawa mendengar lelucon sahabatnya itu.
Akhirnya mereka sampai juga di sebuah taman rekreasi. Udaranya sejuk dan suasananya begitu hijau. Wajah ceria tampak dari para pengunjung. Vinci segera menarik tangan Fiona dan tiba-tiba, “Hai, aku disini!” suara lantang terdengar dari belakang. Rupanya itu Bobi. Bobi benar-benar terkejut melihat Fiona. Bobi tidak jauh berbeda hanya saja terlihat lebih kurus dari yang dulu, selain itu ia terlihat lebih memiliki postur tubuh yang ideal. Mereka berjabat tangan. “Owh, jadi ini sahabatmu. Aku juga udah kenal. Dulu kita pernah di satu sekolah yang sama.” Jelas Bobi melegakan. Fiona hanya terdiam. Ia teringat ketika Bobi menghinanya dan neneknya tetapi ia bahagia karena Bobi tidak memendam rasa benci padanya.
Hari semakin sore, Vinci dan Bobi tampak begitu bahagia. Pada saat Vinci pergi ke toilet Bobi menghampiri Fiona. “Maafin aku Fio, aku ga bermaksud untuk menghina kamu sama nenekmu. Waktu itu aku emosi karena kita ga bisa sama-sama.” tegas Bobi. Fiona hanya terdiam.
 Sesampainya di rumah, Fiona kembali bingung akan apa yang harus ia lakukan. Ia sayang pada Vinci, tetapi ia selalu berpikir mengapa harus Vinci, sahabatnya sendiri. Ia tak ingin Vinci mengalami hal yang sama dengannya. Keesokan harinya Vinci datang menemuinya. Vinci tahu semua yang terjadi antara Fiona dan Bobi. “Fio, tolong maafin dia.” pinta Vinci. “Aku ga yakin dia ga akan nyakitin kamu. Aku juga pesimis kalo dia bisa berubah” kata Fiona. “Tolong Fio, aku sayang sayang sama Bobi.” lirih Vinci. Fiona tidak dapat berkata apa-apa.  Fiona merenung dan teringat jika ia selalu ingin berlari dari kebencian, pesimis, dan prasangka, maka dari itu ia memutuskan untuk memaafkan Bobi.
“Bob, maafin aku. Aku egois, aku ga bisa nerima masukan darimu.” Fio mengulurkan tangannya. “Ia, maafin aku juga ya. Bisa ga kita jadi temen kayak dulu lagi?” tanya Bobi. “Tentu,” jawabku sambil tersenyum. “Nah, gitu dong!!” teriak Vinci bersemangat. Akhirnya mereka bersahabat kembali.
“Ayo ikat tali sepatumu!” mereka memutuskan untuk berlari pagi di taman kota dekat rumah Fiona. Dulu mereka berlari di taman kota ini hanya berdua, tetapi kini bertambah satu orang. Fio berlari dengan sekencang mungkin sambil berkata di dalam hati, “Aku senang dengan diriku yang sekarang. Aku bisa berlari dari kebencian, pesimis, dan prasangka tetapi aku berlari dengan sedikit terlambat. Bagiku berlari dengan terlambat atau cepat adalah hal yang sama. Bumi ini berputar degan cepat dan menciptakan berbagai macam kebencian, pesimis, dan prasangka. Oleh karena itu aku berusaha  berlari untuk sahabatku. Aku senang melihat sahabatku bahagia.”


SEKIAN