Sang mentari mulai menunjukkan sinarnya. Ayam-ayam pun
berkokok. Udara sejuk terasa menyegarkan. Jam menunjukkan pukul 6 pagi. Hari
ini adalah hari pertama libur panjang kenaikkan kelas. Semua siswa tentunya
bergembira karena hal ini adalah sesuatu yang mereka tunggu-tunggu. Tidak terkecuali Fiona, seorang siswi SMA yang manis.
“Hai Fiona” sapa Vinci sambil melambaikan tangan. Fiona
pun membalas dengan senyumannya. Vinci merupakan satu-satunya sahabat baginya.
“Ayo cepat ikat tali sepatumu!” hentak Vinci dengan penuh semangat. Ya, mereka
akan berlari pagi di taman kota dekat rumah Fiona. Ini adalah pertama kalinya
mereka memutuskan untuk lari pagi bersama. Etah apa yang terjadi dengan Vinci,
dia terlihat sangat bersemangat. “Hmm, kamu kenapa sih kok semangat banget?”
tanya Fiona bingung. Vinci berhenti sejenak sambil mengkerutkan keningnya “Ada
deh!” jawabnya menyebalkan dan pergi berlari meninggalkan Fiona. Benar-benar
membuat orang menjadi penasaran, tetapi Fiona berusaha untuk tidak
menghiraukannya.
Keesokan harinya karena
bosan hanya berdiam diri di rumah, Fiona memutuskan untuk ke rumah Vinci. “Vinci…..”
teriak Fiona lantang di depan pagar rumah Vinci. Maklum pagar rumahnnya tinggi
banget. Vinci keluar dengan keadaan yang masih sama dengan kemarin, yaitu suka
nyengir-nyengir sendiri. Berbagai macam cara dan ramuan sudah ditawarkan tetapi
Vinci tetap menutup rapat rahasianya. Akhirnya Vinci mau bercerita ketika sudah
disogok dengan sekotak ice cream, 3 bungkus coklat, ditraktir makan mie ayam
dan tidak ketinggalahn minumnya juga. “Aku udah jadian ama Bobi” kata Vinci. Dengan
spontan Fiona tersedak dan sedikit muncrat ke muka Vinci karena tidak percaya
sahabatnya telah menjadi seseorang yang dewasa. “Ih! Kamu jorok banget” protes Vinci. “Maaf, maaf. Bobi
siapa? Bobi kan banyak!” kata Fiona dengan terbata-bata tetapi sedikit
berteriak. Dengan bersemangat, Vinci menujukkan selembar foto yang berisi
fotonya dengan Bobi.
Sesampainya di rumah,
Fiona hanya merenung. Ternyata Bobi adalah orang yang ia sukai sejak ia masih
bersekolah di kota tempat neneknya tinggal. Nenek Fiona tidak menyukai Bobi
karena penampilan Bobi memang terlihat agak urak-urakan. Mereka belum sempat
berpacaran karena Fiona tentunya jauh lebih memilih neneknya. Bobi marah, ia
menilai Fiona tidak pernah bisa menentukan hal yang ingin ia lakukan dan
terlalu bergantung pada neneknya. Fio pun marah kepada Bobi karena ia merasa
Bobi menghina dirinya dan neneknya. Semenjak saat itu hubungan mereka kurang
baik dan akhirnya kehilangan kontak pada saat Fiona pindah ke sekolah di kota
lain, yaitu sekolahnya sekarang tempat dimana ia menemukan sahabatnya, Vinci. Fiona
juga tidak sempat berpamitan dengannya. “Aduh, pasti dia marah banget sama aku”
Fiona bingung. Ia tidak pernah berpikir akan bertemu dengan Bobi lagi. “Kenapa
mesti sahabatku?” Fiona bingung sendiri. Ia berjalan kesana kemari.
Berputar-putar di kamarnya yang cukup luas. Udara dingin terasa panas, perut
lapar menjadi kenyang, hal yang ia rasakan benar-benar membuat dirinya
tersiksa. Tak tahan lagi ia memutuskan untuk diam di halaman depan rumah, ia
ingin menenangkan pikirannya dan mendapatkan pencerahan dari bintang-bintang di
langit. Sebenarnya ia juga ingin menunggu pedagang nasi goreng yang biasanya
lewat di depan rumah.
Setelah berhasil menghitung beberapa bintang dan membuatnya
semakin pusing, akhirnya “Teng, teng, teng” pedagang nasi goreng sudah tiba
tepat di depan rumahnya. Ia segera memesan sepiring nasi goreng. “Yummm….. Kenyangnya” nasi goreng langganannya memang selalu ampuh
mengembalikan nafsu makannya. Karena kekenyangan ia memutuskan untuk kembali ke
kamarnya.
“Kringg, kring, kring” telepon berbunyi untuk ketiga
kalinya. Dengan mata yang belum terbuka sempurna Fiona mengangkat gagang telepon
di ruang tamu. “Fio, ini aku Vinci. Nanti aku jemput ya. Kamu harus ketemu sama
Bobi. Oke!” kata Vinci. “Tut,tut,tut”
telepon sudah terputus tanpa memberi Fiona kesempatan untuk bicara.
Fiona bingung di
satu sisi ia membenci Bobi karena ia merasa Bobi pernah menghinanya dan
neneknya, tetapi di sisi lain ia juga salah kepada Bobi karena tidak bisa
menerima masukannya dan tidak berpamitan padanya. Setelah merenung akhirnya ia
membulatkan tekad untuk bertemu dengan
Bobi karena cepat atau lambat ia pasti akan bertemu dengannya. Setelah menunggu
beberapa saat akhirnya Vinci menjemputnya juga. Disepanjang perjalanan Fiona
tak henti-hentinya menghela nafas panjang, tangannya dingin dan mukanya pucat.
“Kamu sakit?” tanya Vinci. “Ah, ga kok, cuma laper aja. hehehe” jawab Fiona
dengan sedikit lelucon. Ia tidak ingin membuat sahabatnya cemas. Vinci pun
tertawa mendengar lelucon sahabatnya itu.
Akhirnya mereka sampai juga di sebuah taman rekreasi.
Udaranya sejuk dan suasananya begitu hijau. Wajah ceria tampak dari para
pengunjung. Vinci segera menarik tangan Fiona dan tiba-tiba, “Hai, aku disini!”
suara lantang terdengar dari belakang. Rupanya itu Bobi. Bobi benar-benar
terkejut melihat Fiona. Bobi tidak jauh berbeda hanya saja terlihat lebih kurus
dari yang dulu, selain itu ia terlihat lebih memiliki postur tubuh yang ideal.
Mereka berjabat tangan. “Owh, jadi ini sahabatmu. Aku juga udah kenal. Dulu
kita pernah di satu sekolah yang sama.” Jelas Bobi melegakan. Fiona hanya
terdiam. Ia teringat ketika Bobi menghinanya dan neneknya tetapi ia bahagia
karena Bobi tidak memendam rasa benci padanya.
Hari semakin sore, Vinci dan Bobi tampak begitu bahagia.
Pada saat Vinci pergi ke toilet Bobi menghampiri Fiona. “Maafin aku Fio, aku ga
bermaksud untuk menghina kamu sama nenekmu. Waktu itu aku emosi karena kita ga
bisa sama-sama.” tegas Bobi. Fiona hanya terdiam.
Sesampainya di
rumah, Fiona kembali bingung akan apa yang harus ia lakukan. Ia sayang pada
Vinci, tetapi ia selalu berpikir mengapa harus Vinci, sahabatnya sendiri. Ia
tak ingin Vinci mengalami hal yang sama dengannya. Keesokan harinya Vinci
datang menemuinya. Vinci tahu
semua yang terjadi antara Fiona dan Bobi. “Fio, tolong maafin dia.” pinta
Vinci. “Aku ga yakin dia ga akan nyakitin kamu. Aku juga pesimis kalo dia bisa
berubah” kata Fiona. “Tolong Fio, aku sayang sayang sama Bobi.” lirih Vinci.
Fiona tidak dapat berkata apa-apa. Fiona
merenung dan teringat jika ia selalu ingin berlari dari kebencian, pesimis, dan
prasangka, maka dari itu ia memutuskan untuk memaafkan Bobi.
“Bob, maafin aku. Aku egois, aku ga bisa nerima masukan
darimu.” Fio mengulurkan tangannya. “Ia, maafin aku juga ya. Bisa ga kita jadi temen kayak dulu lagi?” tanya Bobi.
“Tentu,” jawabku sambil tersenyum. “Nah, gitu dong!!” teriak Vinci bersemangat.
Akhirnya
mereka bersahabat kembali.
“Ayo
ikat tali sepatumu!” mereka memutuskan untuk berlari pagi di taman kota dekat rumah Fiona.
Dulu mereka berlari di taman kota
ini hanya berdua, tetapi kini bertambah satu orang. Fio berlari dengan sekencang mungkin sambil berkata di
dalam hati, “Aku senang dengan diriku yang sekarang. Aku bisa berlari dari
kebencian, pesimis, dan prasangka tetapi aku berlari dengan sedikit terlambat.
Bagiku berlari dengan terlambat atau cepat adalah hal yang sama. Bumi ini berputar degan cepat dan menciptakan berbagai
macam kebencian, pesimis, dan prasangka. Oleh karena itu aku berusaha berlari untuk sahabatku. Aku senang melihat
sahabatku bahagia.”
SEKIAN